
Rasa Hormat Tidak Bisa Dipaksa Dan Inilah Sebab Ia Bisa Hilang
Pernahkah kamu merasa segan pada seseorang—hingga suatu hari, rasa itu hilang begitu saja?
Mungkin karena kata-katanya yang mulai kasar. Atau caranya memperlakukan orang lain yang membuatmu mengernyit. Awalnya kamu mengaguminya, bahkan menaruh hormat. Tapi perlahan, sesuatu berubah.
Rasa hormat memang bukan sesuatu yang bisa diminta, apalagi dipaksa. Ia tumbuh karena perilaku. Dan ketika perilaku itu berubah, respect pun bisa memudar diam-diam, tapi pasti.
Artikel ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengajak kita merenung: apa saja hal yang bisa membuat orang lain tak lagi menghargai kita? Dan bagaimana agar kita tidak kehilangan rasa hormat dari mereka yang pernah percaya?
“Consistency is the true foundation of trust. Either keep your promises or do not make them.” – Roy T. Bennett Konsistensi adalah fondasi sejati dari kepercayaan. Tepatilah janji atau jangan buat janji sama sekali.
Lalu apa saja yang membuat orang kehilangan rasa hormat dimanapun berada, berikut ini saya rangkupkan menurut berbagai pakar dan psikologi;
1. Integritas yang Mulai Retak
“Saat tindakan tidak lagi sejalan dengan ucapan, kepercayaan mulai hancur—dan rasa hormat ikut hilang bersamanya.”
Integritas adalah fondasi. Kita bisa memaafkan kesalahan, tapi sulit menghargai seseorang yang pura-pura bersih di depan, tapi bermain kotor di belakang.
Bukan tentang jadi sempurna, tapi tentang berani bertanggung jawab atas kata dan tindakan. Saat seseorang terus mengelak, menyalahkan orang lain, atau menutupi kesalahan—orang mulai berhenti percaya. Dan dari situlah, respect mulai hilang.
2. Arogansi yang Tumbuh Diam-Diam
“Tak ada yang benar-benar menghormati orang yang selalu merasa dirinya di atas orang lain.”
Arogansi sering muncul tidak secara frontal. Kadang dibungkus dengan pencitraan, komentar merendahkan, atau keengganan untuk mendengarkan.
Orang yang merasa selalu benar tanpa ruang untuk kritik, tanpa keinginan untuk belajar lama-lama membuat kita lelah. Karena rasa hormat lahir dari kerendahan hati, bukan dari superioritas semu.
3. Ketidakkonsistenan yang Melelahkan
“Sulit menghargai seseorang yang hari ini berkata A, besok melakukan B, dan lusa menyalahkan kita karena tak mengerti.”
Orang yang tidak konsisten bukan hanya membingungkan, tapi juga membuat kita kehilangan pegangan untuk menghargainya.
Konsistensi bukan berarti kaku, tapi tentang punya nilai yang jelas dan bisa dipegang. Ketika seseorang berubah-ubah demi keuntungan sesaat, kita tahu: yang kita hormati bukan lagi pribadinya, tapi mungkin topeng yang ia pakai.
4. Ketidakpedulian Terhadap Orang Lain
“Rasa hormat lahir dari empati. Ia mati ketika orang mulai merasa dirinya paling penting.”
Orang yang hanya fokus pada dirinya sendiri, yang tidak mendengarkan, tidak menghargai batas, atau mengecilkan pengalaman orang lain—lama-lama membuat kita enggan. Karena manusia punya naluri sosial: kita menghormati orang yang tahu bagaimana menghormati orang lain.
5. Emosi yang Tak Terkendali
“Kematangan emosional adalah pondasi dari respek yang tahan lama.”
Kita semua pernah marah. Tapi saat seseorang terus-menerus meledak, memanipulasi emosi, atau menggunakan kemarahan sebagai senjata—rasa hormat berubah menjadi rasa takut, atau bahkan menjauh menjadi acuh.
Rasa hormat tumbuh dalam ketenangan, bukan dalam ledakan. Kita cenderung menjauh dari orang yang tak bisa menjaga dirinya sendiri.
Penutup: Pelan-Pelan, Tapi Pasti
Kalau kamu ngerasa beberapa poin di atas relate banget dengan dirimu sekarang, jangan buru-buru nge-judge diri sendiri. Kamu nggak otomatis jadi orang jahat kok.
Yang penting, kamu udah mulai menyadari dan mau berubah.
Ingat, rasa hormat itu nggak datang secara instan. Tapi dengan pelan-pelan memperbaiki sikap, membuka diri, dan belajar dari kesalahan, kamu bisa jadi pribadi yang makin dihargai—bukan cuma oleh orang lain, tapi juga oleh dirimu sendiri.
“Respect is earned, not given. But it always starts with how you treat others.”
— Dr. Lisa Feldman Barrett, pakar psikologi emosi.
Kesimpulan:
Rasa hormat bukanlah medali yang bisa disimpan selamanya. Ia hidup, tumbuh, dan bisa mati jika tak dirawat. Kita mungkin bisa memaksakan kepatuhan, tapi tidak bisa memaksa penghargaan.
Dan pada akhirnya, rasa hormat bukan tentang bagaimana orang memandang kita, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, bahkan saat tak ada yang melihat.
Bonus Video Youtube
Referensi Buku & Jurnal:
- Stephen R. Covey – The 7 Habits of Highly Effective People
Tentang integritas dan pentingnya kepercayaan dalam hubungan antarpribadi.
- Daniel Goleman – Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ
Dasar dari bagaimana emosi memengaruhi kepemimpinan, hubungan, dan rasa hormat.
- Brené Brown – The Gifts of Imperfection & Daring Greatly
Mengenai keberanian menjadi otentik, pentingnya empati, dan hubungan yang bermakna.
- Dr. Ramani Durvasula – Should I Stay or Should I Go?
Membahas hubungan toksik, narsisme, dan dinamika kekuasaan dalam relasi.
- Carl R. Rogers – On Becoming a Person
Dasar empati, penerimaan tanpa syarat, dan komunikasi antarmanusia yang sehat.
- Roy F. Baumeister & Mark R. Leary – The Need to Belong (Journal of Personality and Social Psychology)
Studi psikologis tentang pentingnya keterikatan dan rasa dihargai dalam relasi sosial.